SUMBARTERKINI, Bukittinggi — Aksi demonstrasi mahasiswa dan elemen masyarakat kembali digelar pada Senin (1/9) di Kantor DPRD Kota Bukittinggi. Gelombang protes ini muncul dari kekecewaan mendalam terhadap kebijakan pemerintah dan wakil rakyat yang dinilai semakin jauh dari kepentingan masyarakat.

Presiden Mahasiswa UIN SMDD Bukittinggi, Ghazi Falih, menegaskan bahwa kondisi bangsa saat ini membuat rakyat kehilangan harapan. Ia menggambarkan Bung Hatta seakan menutup mata pada hari kemerdekaan 17 Agustus karena sedih melihat kondisi Indonesia. Ghazi menyayangkan guru yang semestinya disebut pahlawan tanpa tanda jasa justru dianggap sebagai beban negara, sementara rakyat terus diperas dengan kenaikan pajak. Pada saat yang sama, tunjangan DPR justru dinaikkan, sehingga menambah penderitaan masyarakat. Menurutnya, apabila DPR sudah tidak lagi membawa manfaat, maka lebih baik lembaga tersebut dibubarkan.

Senada dengan itu, Presiden Mahasiswa ITB HAS, Joehari Aditya Putra, menegaskan bahwa mahasiswa hari ini adalah pewaris cita-cita reformasi. Baginya, ketidakadilan telah merajalela karena suara rakyat tidak lagi didengar. Kritik keras juga datang dari Presiden Mahasiswa Universitas Fort de Kock, Agil Pratama, yang bahkan menuding DPR kini hanya pantas disebut “Dewan Perampok Rakyat.” Ia menilai pajak yang susah payah dibayarkan orang tua mahasiswa justru habis untuk kepentingan pribadi para wakil rakyat.
Dukungan moral datang dari tokoh masyarakat, Umi Cinto yang menyebut mahasiswa hanya ingin menyampaikan unek-unek rakyat. Ia menilai tidak pantas seorang menteri menyebut guru sebagai beban negara, apalagi ada anggota DPR yang merendahkan rakyat dengan sebutan tolol. Namun, Umi mengingatkan mahasiswa agar tetap menyampaikan aspirasi secara sopan dan tidak anarkis, sembari mendesak DPR agar mau mendengar suara rakyat.

Ketua HMI Cabang Bukittinggi, Zaki, membuka pernyataannya dengan mengajak massa mendoakan Rheza Sandi Pratama, mahasiswa yang meninggal dalam rangkaian aksi sebelumnya. Ia menyebut rakyat semakin resah melihat DPR yang justru berfoya-foya, bahkan menyoroti anggota DPR dari Dapil II Sumbar, Cindy Monica, yang dinilai pamer kemewahan ke luar negeri. Kekecewaan juga diarahkan kepada DPRD Bukittinggi karena ketua lembaga tersebut tidak terlihat hadir di tengah aksi.

Dari barisan PMII, Aldo menyoroti kenaikan pajak bumi dan bangunan yang dinilai memperberat beban rakyat, sementara tunjangan DPR terus bertambah. Ia menilai hingga kini tidak terlihat adanya kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat kecil dan menuntut evaluasi menyeluruh terhadap kinerja DPR.
Menanggapi gelombang kritik tersebut, Wakil Ketua DPRD Bukittinggi, Beni Yusrial, menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya dua mahasiswa, Affan dan Reza. Ia menegaskan bahwa seluruh fraksi DPRD hadir dalam aksi tersebut, kecuali ketua yang berhalangan karena sedang berduka. Menurutnya, aspirasi mahasiswa akan ditampung sesuai dengan kewenangan DPRD. Ia menambahkan, jabatan yang diemban anggota DPRD adalah bentuk pengabdian, dan pada akhirnya masyarakat sendiri yang akan menilai kinerja wakilnya.

Namun tuntutan massa tidak berhenti di situ, mereka meminta agar anggota DPRD menyerahkan gaji selama satu tahun kepada masyarakat melalui instansi terpercaya. Anggota DPRD, Nur Asra, menanggapi hal tersebut dengan menyebut tuntutan itu harus dipandang realistis, karena menurutnya tunjangan mereka sudah banyak dipangkas bahkan besarnya kini setara dengan upah seorang sopir. Sementara itu, Dedi Patria menegaskan bahwa DPRD hanya memiliki kewenangan yang diatur Kementerian Dalam Negeri dan berbeda dengan DPR RI. Ia menambahkan bahwa aspirasi mahasiswa akan diteruskan kepada perwakilan partai di tingkat pusat.
Dalam aksi tersebut mahasiswa menegaskan sejumlah tuntutan yang diarahkan kepada DPR RI maupun DPRD Bukittinggi. Mereka meminta presiden segera memberhentikan menteri yang dinilai bermasalah, mendesak partai politik memecat anggota dewan yang mencoreng citra lembaga, serta menuntut audit transparan terhadap penggunaan anggaran DPR. Mereka juga menagih janji penciptaan 19 juta lapangan kerja yang pernah disampaikan Wakil Presiden Gibran, serta mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset dan revisi KUHAP dengan melibatkan publik agar tidak ada pasal yang mengekang demokrasi.
Di tingkat daerah, mahasiswa mendesak DPRD Bukittinggi tidak ikut serta dalam kebijakan kenaikan PBB, menuntut transparansi pengelolaan anggaran, serta meminta kejelasan terkait retribusi seluruh pasar di kota tersebut.
Aksi ditutup dengan peringatan bahwa jika suara rakyat terus diabaikan, maka gelombang protes yang lebih besar sangat mungkin terjadi. Mahasiswa menegaskan bahwa perjuangan mereka bukan sekadar gerakan spontan, melainkan bentuk perlawanan moral terhadap praktik politik yang dianggap semakin jauh dari kepentingan rakyat. (An*)